Rabu, 28 April 2010

HAM Menurut pancasila dan UUD 1945

HAM Menurut Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945

Hak asasi manusia pada prinsipnya merupakan hak yang universal, akan tetapi dalam pelaksanaannya di masing – masing negara disesuaikan dengan kondisi politik dan social budaya masing – masing negara. Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat memiliki Ideologi Pancasila dan Konstitusi UUD 1945 yang menjadi batasan sekaligus berisi pengakuan terhadap hak asasi manusia.
Seberapa jauh nilai – nilai hak asasi manusia terkandung dalam Pancasila dan UUD 19456 dapat dijadikan barometer Negara Kesatuan RepublikIndonesia telah mengakuai dan menghargai hak asasi manusia. Hal ini mengingat Piagam PBB yang memuat pengakuan dan perlindungan HAM baru lahir pada tahun 1948 sesudah lahirnya NKRI pada tahun 1945.

Hubungan HAM dan UUD 1945

Meskipun tidak diatur secara khusus ketentuan tentang HAM pada UUD 1945 sebelum amandemen ke dua, bukan berarti dalam UUD 1945 tidak mengakomodir ketentuan tentang HAM. Jika dilihat dari lahirnya UUD 1945 lebih dulu lahir daripada Deklarasi HAM tahun 1948. Ketentuan yang berkaitan dengan HAM dapat dilihat sebagai berikut :
(1). Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Dengan demikian perlindungan diberikan kepada seluruh bangsa dan tumpah darah Indonesia, tidak hanya terbatas atau berdasarkan kepentingan kelompok atau warga Negara tertentu.
(2). Memajukan kesejahteraan umum, hal ini mengandung pengertian pembangunan kesejahteraan secara merata dan setiap warga Negara punya kesempatan untuk sejahtera.
(3). Mencerdaskan kehidupan bangsa, guna untuk meningkatkan sumberdaya manusia Indonesia seluruhnya secara merata guna mengejar ketertinggalan dari bangsa lain.
(4). Melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social, membangun bangsa yang mandiri serta kewajiban untuk menyumbangkan pada bangsa – bangsa lain di dunia, tanpa perbedaan.
(5). Dalam penjelasan pembukaan UUD 1945 dikatakan bahwa Indonesia adalah Negara berdasarkan hukum (rechtsstaat bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka/machtsstaat). Kaitannya dengan HAM adalah salah satu cirri Negara hokum adalah mengakui adanya HAM. Selanjutnya dalam penjelasan umum diterangkan bahwa UUD menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam “pembukaan” dan pasal – pasalnya, dimana mengandung arti bahwa Negara mengatasi segala paham golongan, dan paham perorangan, mewujudkan keadilan social berdasarkan kerakyatan perwakilan dan Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal ini mencerminkan cita – cita hokum bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi HAM serta lebih mengutamakan kepentingan bersama manusia.

Berdasarkan uraian tersebut diatas maka hubungan HAM dengan UUD 1945 dapat diterjemahkan dalam moral bangsa sebagai berikut :
(a). Kebijaksanaan harus diarahkan pada kebijaksanaan politik dan hokum, dengan perlakuan serta hak dan kewajiban yang sama bagi siapapun, perorangan atau kelompok yang berada di dalam batas wilayah NKRI.
(b). Kebijaksanaan Ekonomi dan Kesejahteraan, dengan kesempatan serta beban tanggungjawab yang sama, bagi siapapun yang ingin berusaha atas dasar persaiangan yang sehat.
(c). Kebijaksanaan Pendidikan dan Kebudayaan, dengan kebebasan serta batasan – batasan yang perlu menjaga ketahanan dan pertahanan mental terhadap anasir dan eksploitasi dari dalam dan luar negeri.
(d). Kebijaksanaan luar negeri, meningkatkan kehormatan bangsa yang merdeka yang bias mengatur diri sendiri, serta mampu menyumbang pada hubungan baik antara bangsa – bangsa di dunia.

Selanjutnya dalam UUD 1945 terdapat pasal – pasal yang berkaitan dengan masalah – masalah HAM, pasal – pasal tersebut adalah :
a). Pasal 27, tentang kesamaan kedudukan hokum dan pemerintahan, tanpa ada kecuali serta setiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
b). Pasal 28, tentang kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan
c). Pasal 29, tentang kemerdekaan untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
d). Pasal 30, tentang hak untuk membela bangsa
e). Pasal 31, tentang hak mendapat pengajaran
f). Pasal 33, tentang hak perekonomian atas asas kekeluargaan
g). Pasal 34, tentang fakir miskin dan anak – anak terlantar dipelihara oleh Negara.
Dalam perkembangannya sesuai dengan amandemen kedua UUD 1945 berdasarkan siding tahunan tahun 2000, masalah hak asasi manusia secara lugas telah dicantumkan dalam BAB XA, Pasal 28A sampai dengan 28J.
Dari uraian tersebut diatas maka UUD 1945 mulai dari pembukaan, penjelasan umum, dan batang tubuh cukup memuat tentang pengakuan hak asasi manusia, atau dengan kata lain secara yuridis konstitusional, Indonesia mengakui HAM jauh sebelum lahirnya Universal Declaration of Human Right.

PELANGGARAN HAM
Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok termasuk aparat negara, baik disengaja ataupun tidak, atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi atau mencabut HAM yang telah dijamin oleh undang-undang, dan tidak didapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar. Pelanggaran HAM tergolong berat, baik berupa kejahatan genosida dan kemanusiaan. Sedangkan pelanggaran selain dari keduanya tergolong ringan.
Untuk menyikapi kejahatan dan pelanggaran HAM, berdasarkan hukum internasional dapat digunakan retroaktif, diberlakukan pasal tentang kewajiban untuk tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dalam undang-undang, seperti tercantum dalam pasal 28 J ayat 2 UUD 1945.

Contoh atau bukti pelanggaran HAM

Tragedi Tanjung Priok
Tragedi ini terjadi pada September 1984. Saat itu hampir tengah malam, tiga orang juru dakwah, Amir Biki, Syarifin Maloko dan M. Nasir berpidato berapi-api di jalan Sindang Raya, Priok.
Mereka menuntut pembebasan empat pemuda jamaah Mushala As-Sa’adah yang ditangkap petugas Kodim
Jakarta Utara.

Empat pemuda itu digaruk tentara karena membakar sepeda motor Sertu Hermanu. Anggota Babinsa Koja Selatan itu hampir saja dihajar massa jika tak dicegah oleh seorang tokoh masyarakat di sana.
Ketika itu, 7 September 1984, Hermanu melihat poster ”Agar para wanita memakai pakaian jilbab.’ Dia meminta agar poster itu dicopot.

Tapi para remaja masjid itu menolak. Esoknya Hermanu datang lagi, menghapus poster itu dengan koran yang dicelup air got. Melihat itu, massa berkerumun, tapi Hermanu sudah pergi. Maka beredarlah desas-desus ‘ada sersan masuk mushola tanpa buka sepatu dan mengotorinya.’ Massa
rupanya termakan isu itu. Terjadilah pembakaran sepeda motor itu.

Maka, pengurus Musholla pun meminta bantuan Amir Biki, seorang tokoh di sana agar membebaskan empat pemuda yang ditahan Kodim itu. Tapi ia gagal, dan berang. Ia lantas mengumpulkan massa di
jalan Sindang Raya dan bersama-sama pembicara lain, menyerang pemerintah. Biki dengan mengacungkan badik, antara lain mengancam RUU Keormasan.

Pembicara lain, seperti Syarifin Maloko, M. Natsir dan Yayan, mengecam Pancasila dan dominasi Cina atas perekonomian Indonesia. Di akhir pidatonya yang meledak-ledak, Biki pun mengancam, ”akan menggerakkan massa bila empat pemuda yang ditahan tidak dibebaskan.” Ia memberi batas
waktu pukul 23.00. Tapi sampai batas waktu itu, empat pemuda tidak juga dibebaskan.

Maka, Biki pun menggerakkan massa. Mereka dibagi dua; kelompok pertama menyerang Kodim. Kelompok kedua menyerang toko-toko Cina. Bergeraklah dua sampai tiga ribu massa ke Kodim di jalan Yos
Sudarso, berjarak 1,5 Km dari tempat pengerahan massa.

Biki berjalan di depan. Tapi di tengah jalan, depan Polres Jakarta Utara, mereka dihadang petugas. Mereka tak mau bubar. Bahkan tak mempedulikan tembakan peringatan. Mereka maju terus,
menurut versi tentara, sambil mengacung-acungkan golok dan celurit.

Masih menurut sumber resmi TNI, Biki kemudian berteriak, Maju…serbu…’ dan massa pun menghambur. Tembakan muntah menghabiskan banyak sekali nyawa. Biki sendiri tewas saat itu juga.

Keterangan resmi pemerintah korban yang mati hanya 28 orang. Tapi dari pihak korban menyebutkan sekitar tujuh ratus jamaah tewas dalam tragedi itu. Setelah itu, beberapa tokoh yang dinilai terlibat dalam peristiwa itu ditangkapi; Qodir Djaelani, Tony Ardy, Mawardi Noor, Oesmany Al
Hamidy. Ceramah-ceramah mereka setahun sebelumnya terkenal keras; menyerang kristenisasi, penggusuran, Asaa Tunggal Pancasila, Pembatasan Izin Dakwah, KB, dan dominasi ekonomi oleh Cina.

Empat belas jam setelah peristiwa itu, Pangkopkamtib LB Moerdani didampingi Harmoko sebagai Menpen dan Try Sutrisno sebagai Pangdam Jaya memberikan penjelasan pers. Saat itu Benny menyatakan telah terjadi penyerbuan oleh massa Islam di pimpin oleh Biki, Maloko dan M. Natsir. Sembilan korban tewas dan 53 luka-luka, kata Benny.

PELAKSANAAN HAM
Pelaksanaan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia baru pada tahap kebijakan belum menjadi bagian dari sendi-sendi dasar kehidupan berbangsa untuk menjadi faktor integrasi atau persatuan. Problem dasar
HAM yaitu penghargaan terhadap martabat dan privasi warga negara sebagai pribadi juga belum ditempatkan sebagaimana mestinya.Demikian disampaikan Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
Marzuki Darusman da-lam diskusi yang diselenggarakan Forum Diskusi Wartawan Politik (FDWP) di Wisma Surabaya Post Jakarta, Sabtu (23/8). Dalam diskusi itu diperbincangkan masalah hak asasi, politik dan
demokrasi di Indonesia termasuk hubungan Komnas HAM dan pemerintah. “Pelaksanaan HAM di kita masih maju mundur. Namun itu tidak menjadi soal karena dalam proses,” kata Marzuki. Padahal jika melihat sisi
historis, kata Marzuki, HAM di Indonesia beranjak dari amanat penderitaan rakyat untuk mewujudkan kemerdekaan dari penjajah. Begitu pula seperti tercermin dari Sila Kemanusiaan yang berpangkal dari
falsafah kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam diskusi dipersoalkan bagaimana sebenarnya posisi pemerinta untuk melaksanakan HAM secara tulus. Menurut mantan anggota F-KP DPR itu, di luar negeri bidang-bidang politik, ekonomi selalu dihubungkan
dengan masalah HAM. “Makanya mereka mau berisiko demi HAM ini. HAM sudah menyatu,” katanya.

Sedangkan di Indonesia, HAM baru merupakan satu kebijakan belum
merupakan bagian dari sendi-sendi dasar dari kehidupan berbangsa.
Marzuki mengatakan, sebenarnya HAM bisa menjadi faktor integrasi atau
pemersatu bangsa.

Marzuki menganalogikan pelaksanaan HAM di Indonesia dengan pemahaman
masyarakat terhadap lingkungan hidup 10-20 tahun lalu. Lingkungan
hidup yang saat itu masih menjadi isu internasional sekarang sudah
menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat dan pemerintah.

“Saat ini, lingkungan hidup sudah menjadi kesadaran nasional,”
katanya. Masalah lingkungan hidup tidak hanya menjadi kebijakan
nasional namun sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan.
“Hal seperti itulah yang saat ini sedang ditempuh oleh HAM,” katanya.

Konstelasi politik

Kondisi HAM di Indonesia menghadapi dua hal dinamis yang terjadi yaitu
realitas empiris di mana masyarakat semakin sadar HAM serta kondisi
politik.

Soal hubungan Komnas HAM dengan pemerintah, Marzuki mengatakan, bagian
terbesar dari rekomendasi Komnas HAM terutama kepada pemerintah
daerah/gubernur, 60 persen di antaranya mendapat respon yang
konstruktif. Persoalan muncul jika kasusnya bermuatan politik, seperti
Kasus Marsinah atau Kerusuhan 27 Juli. “Perlu ada pelurusan terhadap
gambaran masyarakat soal hu-bungan pemerintah dan Komnas HAM,”
katanya. Marzuki mendengar jika ada persepsi di masyarakat bahwa
rekomendasi Komnas HAM tidak dilaksanakan oleh pemerintah.

“Kondisi ideal HAM adalah kondisi demokratis,” kata Marzuki. Kesadaran
akan HAM maupun pelaksanaannya hanya mungkin jika ada pembaharuan
politik.

Dalam beberapa persoalan Marzuki melihat sikap kalangan pemerintah
maupun ABRI terhadap masalah HAM tergantung konstelasi politik yang
terjadi, bukan pada pemahaman HAM sebenarnya. Misalnya komentar
tentang Kerusuhan 27 Juli, satu pihak mengatakan bahwa kasus tersebut
sudah selesai, namun yang lainnya mengatakan bahwa langkah-langkah
Megawati Soekarnoputri konstitusional.

Dia mengedepankan persoalan HAM di Indonesia dengan satu contoh yakni
penggunaan istilah yang berkonotasi politik terhadap seseorang yang
menyentuh martabat atau privasinya. Istilah gembong, oknum atau otak
terutama dalam kerangka kasus-kasus subversif menjadi biasa digunakan
oleh masyarakat menjadi sesuatu yang normal. “Padahal itu menyentuh
HAM, seseorang digambarkan dengan istilah-istilah,” katanya.

Komnas HAM sebenarnya menganut prinsip HAM universal dengan dasar
Piagam PBB, Deklarasi HAM serta Pancasila sebagai falsafah politik dan
konsitusi UUD ‘45. “Paham HAM universal itu harus disesuaikan dengan
nilai budaya yang berlaku,” katanya.

Namun kurangnya pemahaman HAM atau karena kepentingan politik
seringkali disebut-sebut “HAM di Indonesia sebagai HAM yang khas yang
berbeda dengan HAM universal”. “Itu tidak benar. Tidak berarti kita
punya prinsip HAM sendiri,” kata mantan Sekjen Pemuda ASEAN tersebut.
Yang benar, HAM universal justru harus diimplementasikan dalam
masyarakat dan peka terhadap nilai-nilai budaya setempat. “Coba cari
HAM khas Indonesia yang tidak ada di HAM universal. Tidak ada,”
katanya.

Marzuki menilai persoalan antara HAM universal dan HAM kultural malah
menjadi perdebatan semu. Padahal sebenarnya itu hanya merupakan
mekanisme defensif untuk menghadapi tekanan luar. (ush)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar